Senin, 20 Oktober 2014

Tradisi Kritik dalam Tafsir (Studi Ad-Dakhil)


TRADISI KRITIK TAFSIR
(STUDI AD-DAKHĪL)


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al-Qur’an: Teori dan Metodologi
yang diampu oleh Bapak Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.




Oleh :
Mohamad Sobirin, M.Hum.
                                                                                   
Program Doktoral Studi Islam
Sekolah Paska Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2013


TRADISI KRITIK TAFSIR
(STUDI AD-DAKHĪL)

I.     Pendahulan
Berbagai macam ijtihad untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’ān sudah berlangsung sejak masa Rasūlullah SAW, dimana beliau sendiri sebagai mubayyīn dan mufassīr-nya. Pada era ini tidak terjadi perselisihan yang mencolok walaupun perbedaan juga tidak dapat dihindari dalam upaya memahami kandungan makna ayat Al-Qur’ān tersebut, hal itu karena marāji’ utama sebagai penjelasnya masih ada sehingga para sahabat dapat bertanya langsung kepada  Rasūlullah SAW.[1] Baru setelah Rasūlullah wafat perbedaan penafsiran yang berakibat pada perselisihan mulai muncul, dan terus berkembang seiring rentang waktu yang menjauh dari masa Rasul. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, setting sosial, kapabilitas mufassir, dan berbagai hal yang bersifat normatif seperti prinsip dan metode penafsiran yang terdapat dalam banyak literatur Ulum Al-Qur’ān.[2] Pada akhirnya, wujud perkembangan penafsiran menjadi sangat kompleks dengan berbagai inovasi-progresif yang menyertainya. 
Setelah melalui perjalanan panjang tersebut, munculah wacana baru dalm perkembangan studi tafsīr pada beberapa dekade terkahir ini. Wacana dalam formasi upaya pen-tanqīh-an atau pembersihan tafsīr Al-Qur’ān dari segala sesuatu yang menjadikan eksistensi tafsīr tersebut menjadi tidak legitimet secara nalar keislaman yang radik karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menginternalisasi ke dalamnya secara destruktif. Urgensi upaya tersebut pada akhirnya terformulasikan dalam satu studi mandiri yang disebut dengan istilah Studi Ad-Dakhīl.



II.       Kajian
Ad-Dakhīl: Etimologi dan Terminologi
Menurut Ragīb Al-Asfīhānī dalam kitabnya yang berjudul “Al-Mufradat fī Gārāib Al-Qur’an”, yang dimaksud dengan Ad-Dakhlu (الدخل) secara etimologis adalah “burung yang masuk didalam pepohonan yang rimbun, yang dililitkan, dan dikumpulkan jadi satu.”  Pengertian tersebut juga merupakan sebuah ungkapan untuk menggambarkan kerusakan pada materi yang dimasukinya. Begitu juga bisa diartikan sebagai perselisihan atau ketidak singkronan antara dua unsur.[3]
Sementara itu, menurut Dr. Abdul Wahhāb Fayyād, mendefinisikan Ad-Dakhīl sebagai “pendatang baru yang menyusup masuk dari luar, dan keberadaanya tidak memiliki dasar atau unsur utama dari sesuatu yang dimasukinya.” Hal ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan keberadaan seseorang dalam berkata-kata dan memaknai sesuatu, misalnya fulan/seseorang telah menyusup ke dalam satu kaum/kelompok masyarakat, kalimat itu mempunyai arti bahwa si fulan itu tidak berasal dari kaum tersebut secara nasab atau garis keturunan, namun dia berada dan tinggal diantara kaum itu.
Berangkat dari pengertian diatas, Ad-Dakhīl juga diartikan sebagai bagian luar yang menyimpang, tidak ada keterkaitan dengan yang ada didalam, dan yang didalam juga tidak mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang berada diluar pintu, dia tidak berkaitan dengan apa yang ada didalamnya, karena dia mempunyai bid’ah tertentu yang menyebabkannya terhalangi dari sifat keterkaitan.[4]
Sedangkan makna Ad-Dakhīl secara terminologis adalah tafsīr atau penafsiran yang tidak memiliki dasar sedikitpun dalam agama, yang dilakukan dengan tujuan merusak makna dan kandungan Al-Qur’ān karena kesalahan atau kelalaian pada sebuah zaman tertentu dimana didalamnya termasuk katagori penafsiran yang muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Ad-Dakhīl: Faktor-Faktor
Faktor-faktor penyebab terjadinya Ad-Dakhīl dalam suatu tafsīr terbagi menjadi dua, pertama faktor internal, dan yang kedua adalah faktor eksternal. Faktor-faktor  tersebut yaitu :
Pertama, faktor internal.
1.      Faktor ini meliputi segala sesuatu yang datang dari kelompok-kelompok yang mengaku dan mengatakan dirinya sebagai bagian dari Islam atau sekte Islam. Mereka mengaku memiliki hubungan yang kuat dengan Islam. Padahal, sebenarnya mereka hanya menjalankan strategi yang dirumuskan oleh mereka yang memusuhi Islam.[5]
2.      Faktor ini juga meliputi pembuangan sanad-sanad dan tidak mendasarkan penafsiran dari sumber-sumber tafsīr yang sah. Sumber-sumber yang dimaksudkan yaitu Al-Qur’ān, Ḥadīṡ Nabi, dan Atsar Sahabat.[6]
3.      Faktor ini memuat riwayat-riwayat Isrāiliyyāt  yang masuk dalam tafsīr, biasanya melalui pertanyaan ahli kitab tentang satu nash tertentu yang terdapat didalam Al-Qur’ān. Akhirnya riwayat tersebut menjadi tafsīr.
4.      Faktor lahirnya fan-fan dalam ilmu pengentahuan juga turut berpengaruh, seperti fiqih, lugah, tasawwuf, dan seterusnya. Menjadikan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan tersebut sebagai kerangka penafsiran adalah sesuatu yang sah, namun dengan tidak meniadakan fungsi Al-Qur’ān, Ḥadīṡ, dan Aqwāl Sahabat sebagai sumber tafsīr.[7]
5.      Faktor mufassir yang hanya menggunakan akal dan ijtihad semata dalam melakukan penafsiran.[8]
Kedua, faktor eksternal.
1.      Faktor ini salah satu aspek penyebabnya meliputi sesuatu yang datang dari orang-orang yang memusuhi Islam. Diantaranya adalah orang Yahudi, Nashrani, Ateis, dan lain-lain. Dimana mereka mempunyai semacam misi untuk merusak Islam dan mengotori ajarannya dengan hal-hal yang tidak semestinya. Mereka menyebarkan dan menyelipkan cerita-cerita yang tidak mempunyai nilai historisitas ke dalam Al-Qur’ān agar umat Islam merasa ragu dengan agamanya sendiri. Sehingga lupa bahwasanya agama Islam itu prinsip dan sumbernya berasal dari Al-Qur’ān dan Al-Ḥadīṡ.[9]
2.      Munculnya berbagai perpecahan politik, aliran-aliran dan mażhab-mażhab dalam Islam yang banyak menafsirkan Al-Qur’ān dengan menuruti kehendak dan kepentingan golongan mereka masing-masing.
3.      Tidak adanya kompetensi yang dimiliki oleh seorang mufassir.[10] Kompetensi yang dimaksud adalah sebagaimana syarat-syarat mufassir sebagaimana telah penulis paparkan pada bagian sebelum ini.
Isrāiliyyāt : Etimologi dan Terminologi
Secara etimologis Isrāiliyyātadalah bentuk jamak dari kata Isra'iliyyah. Merupakan isim yang dinisbatkan pada kata Isra'il yang berasal dari kata Ibrani[11]yang berarti hamba Tuhan. Isra' berarti hamba dan “il” bermakna Tuhan.[12] Dalam perspektif historis, Isra'il berkaitan erat dengan Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim A.S. di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu disebut Bani Isra'il.[13]
Kata ini digunakan dalam konteks seperti Israil dalam bahasa Al-Qur’ān; kata Israil menggunakan Hamzah, Ya’, dan tidak menggunakan Ya’, dengan Hamzah dan Kasroh. Begitu juga kata Israil dengan Hamzah berharakat Fathah. Isro-in “dengan menggunakan Nun” dengan makna Israil itu sendiri yang berarti hamba Allah. Ibnu Abas menyatakan bahwa kata “Asrun”, menurut bahasa Ibraniyah memiliki arti kata hamba, sedangkan “Wayalun” berarti Allah. Selain itu dikatakan juga bahwa “Asrun” adalah pilihan dan sesuatu yang sangat, dan “Wayalun” berarti Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Israil adalah makhluk Allah yang diistimewakan dengan disempurnakan khulūq-nya.[14]
Sedangkan Isrāiliyyāt secara terminologis -menurut istilah para Ulama’- adalah perkataan atau ucapan yang mengarah pada cerita-cerita dan legenda-legenda yang dikaitkan dengan asal usul Yahudi ataupun Nashrani, yang sebagian besar cerita didalamnya mengandung mitos tentang apa yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Seperti halnya cerita-cerita tentang para Nabi dan Rasul. Isrāiliyyāt  mayoritas berasal dari Tauratdan Injil. Sehingga acap kali ditemukan absurditas dan pertentangan dengan Al-Qur’ān, mengingat keberadaan keduanya yang tidak bisa dilepaskan dari tahrīf.[15] Sementara itu, Ahli Tafsīr dan Ḥadīṡ berpandangan bahwa Isrāiliyyāt  secara terminologis adalah kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Isrāilī.[16]
Tokoh tafsīr  terkemuka, Husain Aż-Żahabī, mengemukakan pengertian Isrāiliyyāt sebagai kisah dan dongeng  klasik atau kuno yang masuk ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang asal periwayatannya dari sumber Yahudi, Nasrani atau yang lain.Sebagian Ahli tafsīr dan Ḥadīṡ memperluas lagi pengertian Isrāiliyyāt ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja deselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang tidak dijumpai sama sekali dasarnya dalam sumber-sumber lama.[17]
Definisi yang cukup komperehensif tentang Isrāiliyyāt, juga dikemukakan oleh Ahmad Khalīl, bahwa Isrāiliyyāt adalah kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab, baik yang ada hubungannya dengan ajaran agama mereka maupun tidak.[18]
Walaupun kata Isrāiliyyāt pada lahirnya merujuk pada riwayat yang bersumber pada kalangan Yahudi, namun demikian dalam realitas, peristilahan ahli tafsīr dan Ḥadīṡ mencakup juga riwayat yang bersumber dari kalangan Nasrani. Lebih populer dan dominannya unsur Yahudi, dengan meminjam istilah Husain Aż-Żahabī, maka penisbatan istilah Isrāiliyyāt hanyalah “min bāb at-taglīb”.2
Dominasi unsur Yahudi ini bisa jadi disebabkan karena sebagian besar mereka yang meriwayatkan kisah-kisah itu terdiri dari orang Yahudi yang memeluk Islam[19]atau juga karena menonjolnya perana mereka terhadap kaum Muslimin yang sudah sedemikian dekat semenjak permulaan Islam.[20]
Hubungan Ad-Dakhīl dengan Isrāiliyyāt
Setelah makna Ad-Dakhīl dan makna Isrāiliyyāt masing-masing terpaparkan dengan jelas sebagaimana diatas, maka konklusi mengenai hubungan antara keduanya terletak pada pengertian relenvansional bahwa Ad-Dakhīl memiliki arti lebih luas dan umum dari pada Isrāiliyyāt. Karena Ad-Dakhīl memuat Isrāiliyyāt didalamnya, dan hal-hal lainnya seperti Ḥadīṡ-Ḥadīṡ yang a’īf, dan Mauḍū’. Begitu juga memuat ta’wīl-ta’wīl yang tidak bertendensikan pada sanad yang ahīh, dan menyeleweng dari ayat-ayat Al-Qur’ān baik berupa penyelewengan maknanya yang hakiki, dan dengan menggunakan dalil-dalil yang tidak sesuai dengan kebenaran maknanya. Begitu juga syaṭāhāt para Sufi dalam penafsiran mereka merupakan bagian dari Ad-Dakhīl. Semua itu disebut dengan Ad-Dakhīl.[21]
Sehingga kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa Isrāiliyyāt merupakan bagian dari bagian-bagian yang dimiliki oleh Ad-Dakhīl. Dengan pengertian lain, setiap Isrāiliyyāt adalah Ad-Dakhīl, namun setiap Ad-Dakhīl itu belum tentu Isrāiliyyāt. Hubungan antara keduanya, Ad-Dakhīl dan Isrāiliyyāt  adalah hubungan mengenai hal yang umum mutlaq dengan yang khusus spesifik.
Sejarah Perkembangan Ad-Dakhīl 
Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisī sebelum lahirnya Islam adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisī dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat Quraisī yang belum banyak mengerti baca dan tulis.
Selanjutnya, tatkala Rasūlullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh Al-Qur’ān dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh Al-Qur’ān dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauiah dan i’tibār yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nūh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan Al-Qur’ān yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh Al-Qur’ān secara global.[22]
Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Uman bin Affān tahun 41 H, kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya, riwayat-riwayat Isrāiliyyāt dan Ḥadīṡ-Ḥadīṡ palsu mulai tersebar dengan mudah.[23] Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Ḥadīṡ yang benar-benar bersumber dari Rasūlullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah sejarah faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (Ad-Dakhīl fī Al-Manqūl).
Sementara sejarah yang menjadi penggerak utama lahirnya Ad-Dakhīl dalam tataran pemikiran (Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi.[24]Diantara sekte dan gologan tersebut yang terkenal ada lima, yaitu Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah, dan Khawarij. Kelompok terkenal lainnya, seperti Jabariyyah, Batiniyyah, Musyabbihah, dan lain-lain sebagian besarnya berasal dari kelima kelompok utama itu.[25] Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan Al-Qur’ān sesuai dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca Al-Qur’an, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh Al-Qur’ān yang sebenarnya.
Pada zaman Tabi’in, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang Isrāiliyyāt  dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam penafsiran al-Quran.[26]
Pada masa Tabi’ Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsīr, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’ān yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci. Sebenarnya banyak karya tafsīr dihasilkan oleh para ulama’ dalam periode ini.[27] Namun, karena tafsīr-tafsīr itu tak mencantumkan sanad secara tegas, maka bercampur baurlah antara riwayat yang Ṣahīh dan riwayat yang tidak Ṣahīh.  Kondisi semacam ini merambah pada pemuatan kisah-kisah Isrāiliyyāt. Di antara para mufassir yang banyak memasukkan Ad-Dakhīl dalam mereka adalah Muhammad bin As-Saib Al-Kalbī, Abdul Mālik bin Abdul ‘Azīz bin Juraih, dan juga Muqātil bin Sulaimān.[28]
Perkembangan periode selanjutnya yaitu mulai dari era Abbasiyyah sampai sekarang. Era tersebut merupakan era dimana wilayah negara Muslim sangat luas, berkembang banyak sekali aliran seberagam pula opini-opini keagamaan mereka, dan begitu juga faktor latar belakang sosial kultur mereka. Ilmu pengetahuan mereka pun berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Seperti halnya ilmu fikih, linguistik, filsafat, dan lain sebaginya. Hal itu berdampak pada upaya untuk memasukkan keilmuan-keilmuan yang ada tersebut dalam tafsīr.[29]
Karya-Karya
Kitab-kitab induk yang dijadikan kajian sekaligus rujukan dalam studi Ad-Dakhīl saat ini yaitu Ad-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Ibrāhim Khalīfah, Ushūl Ad-Dakhīl fī Tafsīr Aī at-Tanzīl karya Abdul Wahhāb An-Najjār, Ad-Dakhīl fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Wahhāb Faiḍ,  Ad-Dakhīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Fatāh Khaar, Al-Kasyfu wa al-Bayānu ‘an ad-Dakhīl fi Tafsīr Aī Al-Qur’ān karya Abdurrahman, Ad-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Mukhtār Marzūq, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr karya Husain Sayyid Ridwān, Ad-Dakhīl fi at-Tafsīr karya Abdul Muhaimin, dan Asbāb al-Khaṭā’ fī at-Tafsīr karya Mahmūd Muhammad Ya’qūb.
Selain kitab-kitab di atas, terdapat beberapa karya referensional lainnya dalam bidang Ad-Dakhīl, yaitu Al-Ittijāhāt al-Munarifah fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Muhammad Husain Aż-Żahābī, munculnya karya ini setelah terbitnya Al-Itiijahāt karya Ramzī Na’nānah. Na’nānah menulis karyanya tersebut setelah Aż-Żahābī menulis artikel Bida’ At-Tafāsir fī al-Mai wa al-Hāḍir, sebagai referensi dalam menulis kitabnya.
Beberapa kitab lainnya yang mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak langsung, dalam arti kitab-kitab yang membahas Ad-Dakhīl namun tidak memakai istilah itu juga cukup banyak.
Macam-Macam Ad-Dakhīl
Sebagaimana pengertian Ad-Dakhīl adalah sebuah penafsiran yang dimasuki oleh riwayat-riwayat yang tidak berasal dari Nabi maupun dari sahabatnya dan para tabi’in, atau disebut juga dengan istilah Ad-Dakhīl bi Al-Ma’ṡur, maka demikian halnya penafsiran yang dimasuki oleh pendapat-pendapat penafsiran yang bermotif mengrusak akidah yang disertai dengan hawa nafsu yang menyesatkan, adalah disebut dengan istilah Ad-Dakhīl bi Ar-Ra’yi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai dua macam Ad-Dakhīl:
1.      Ad-Dakhīl fī Al-Manqūl
Dakhil dalam riwayat ini mempunyai beberapa bentuk,[30] yaitu:
a.       Ḥadīṡ-Ḥadīṡ Mauḍū’
b.      Ḥadīṡ-Ḥadīṡ Ḍa’īf
c.       Atsar yang dinisbahkan kepada sahabat namun ia Mauḍū’ atau juga Ḍa’īf.
d.      Atsar sahabat yang diketahui bahwa itu diambil dari riwayat Isrāiliyyāt  dan bersimpangan dengan Al-Qur’ān dan As-Sunnah.
e.       Atsar sahabat yang diperselisihkan dan tidak ditemukan keyakinan tentang kebenarannya.
f.       Riwayat dari tabi’in, namun Mauḍū’, Ḍa’īf, dan bagian dari Isrāiliyyāt .
g.      Dalil-dalil yang ta’āru secara hakiki, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan al-jam’u.
Namun kebanyakan dalam kitab-kitab yang membahas masalah Ad-Dakhīl ini yang terdapat dalam kitab-kitab tafsīr yaitu berupa riwayat Isrāiliyyāt, Ḥadīṡ-Ḥadīṡ Ḍa’īf dan Mauḍū’. 
2.      Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi
Ad-Dakhīl jenis ini mempunyai pengertian segala sesuatu dalam tafsīr yang muncul dari pendapat yang mażmūm atau tercela, yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang hendak menafsirkanAl-Qur’ān.
Secara umum, Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi ini memuat beberapa hal:
a.       Ad-Dakhīl yang berasal dari Ateis, diantara mereka yaitu aliran Bainiyyah, Bahāiyyah, Bābiyyah, danQāḍiyaniyyah.
b.      Ad-Dakhīl yang berasal dari aliran Mujassimah dan Musyabbihah.
c.       Ad-Dakhīl yang berasal dari aliran kelompok ahli bid’ah, seperti Syi’ah dan Mu’tazilah.
d.      Ad-Dakhīl yang berasal dari para sufi dan filosof, yang disebut dengan Syaṭāhāt.
e.       Ad-Dakhīl yang berasal dari sisi kebahasaan dan nahwu.
f.       Ad-Dakhīl yang berasal dari ketidakcakapan ilmu pengetahuan seorang mufassir, karena tidak terpenuhinya syarat yang dibutuhkan oleh seorang mufassir.
g.      Ad-Dakhīl yang berasal dari tafsīr corak Ilmī.[31]
Contoh-Contoh
Contoh-contoh yang penulis paparkan pada bagian ini bersumber dari kitab kajian kritis tafsir karya Abdullah Al-Gumārī[32] berjudul Bida’ At-Tafāsir. Dalam kitab tersebut, setelah penulis melakukan kajian terhadap materi didalamnya, ada banyak sekali contoh berkenaan dengan Ad-Dakhīl. Secara klasifikatif-representatif terdapat tiga puluh tujuh contoh, dengan pengklasifikasian secara kritis yang berjumlah dua. Pertama, klasifikasi berupa Prinsip-Prinsip Penafsiran; kedua, Kaedah dan Bid’ah Penafsiran.[33]   
1.      Ad-Dakhīl fī Al-Manqūl
Contoh yang penulis ambil dari Abdullah Al-Gumārī, diantaranya yaitu penafsiran terhadap surat Al-Fajr ayat 6-8:
أَلمَْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ¯ إِرَمَ ذَاتِ العِمَادِ¯ الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِيْ البِلَادِ
Ḥadīṡ yang sering dipakai untuk menafsirkan ayat ini adalah Ḥadīṡ riwayat Tsa’labi dari jalur Ustman Ad-Dārimī, dari Abdullah bin alih, dari Abi Luhai’ah, dari Khalid bin Abi Imrān, dari Wahab bin Munabbih, dari Abdullah bin Qalābah. Ḥadīṡ tersebut menceritakan secara detail gambaran tentang Raja ‘Ad, yaitu Syaddad bin ‘Ad, dan kota ‘Adn. Berawal ketika raja ‘Ad mendapatkan kabar mengenai gambaran surga, akhirnya ia memerintahkan kepada rakyatnya semua untuk membangun kota ‘Adn untuk menandingi surga.[34]

Takhrīj yang dilakukan oleh Abdullah Al-Gumārī menyatakan bahwa Ḥadīṡ tersebut adalah Mauḍū’. Kemauḍū’an terjadi karena faktor sanad dan matannya. Faktor sanad yaitu Ibnu Qilābah, sementara faktor matan karena isi kandungan Ḥadīṡ yang sangat detail dalam menggambarkan kota ‘Ad dengan Iram nya. Hingga seolah-olah rawi tersebut menyaksikannya sendiri.[35]
2.      Ad-Dakhīl fī Ar-Ra’yi
Abdullah Al-Gumārī dalam konteks ini memberikan banyak contoh penafsiran, diantaranya adalah penafsiran yang bermotif mażhab. Ia menyatakan bahwa sebagian dari bid’ah tafsīr yaitu ketika seorang mufassir menjadikan mażhabnya sebagai dasar dan dalil untuk melakukan takhī lafaẓ dalam sebuah ayat, atau mungkin juga taqyīd. Hal ini beliau katakan sering dilakukan oleh Al-Jubāī, orang Mu’tazilah lainnya dan Syi’ah.[36] Jadi motifnya adalah bahasa, namun tujuannya adalah kepentingan mażhab.
Contoh kaedah ini dengan motif mażhab, yaitu penafsiran terhadap ayat 32 surat Al-Fathir yang dilakukan oleh Syi’ah:
ثُمَ أَوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِّيْنَ إِصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ... الاية ¯
Murtao, seorang Imam Syi’ah Imamiyyah, menafsirkan ayat tersebut bahwa pewaris dari الكِتَابَ yang dimaksudkan ayat tersebut adalah para imam Syi’ah Imamiyyah yang merupakan anak cucu Nabi Muhammad SAW. Padahal tidak ada dalil satu pun yang menyatakan demikian. Ia menafsirkan seperti itu dalam kerangka untuk menguatkan legitimasi Syi’ah Imamiyyah. Penafsiran seperti ini yang dimaksudkan oleh Abdullah Al-Gumārī sebagai bid’ah bermotifkan mażhab, dalam hal ini Syi’ah.[37]
III.    Kesimpulan
Beragam kitab tafsir maupun pemikiran penafsiran telah ada sejak lama hingga masa sekarang. Dengan berbagai metode dan corak yang digunakan oleh para mufassirnya. Heterogenitas ini meniscayakan adanya perbedaan dalam kitab-kitab dan pemikiran tafsir tersebut. Respon sarjana Muslim atas keragaman pun juga bermacam-macam. Kritik dan saran saling melengkapi. Studi Ad-Dakhil barangkali merupakan satu dari sekian cara dan metode untuk menyikapi masalah keragaman ini. Maka, diperlukan sikap saling terbuka, menghargai dan tidak saling menjatuhkan dalam sikap tersebut.
Kerangka teori yang terdapat pada studi Ad-Dakhil merupakan kerangka teori kirtis dalam membingkai satu problematika dalam dunia tafsir, walaupun produk dari pengaplikasiannya juga tidak semua dapat dibenarkan dan disalahkan. Relativitas tetap menjadi prinsip penilaian. Namun terlepas dari semua itu, dapat terlihat dari tori kiritik tafsir tersebut bahwa ada cita-cita luhur untuk memunculkan tafsir yang objektif nihil dari kepentingan negatif dan mempunyai kompetensi yang otoritatif sehingga dapat diterima setiap golongan. Walaupun demikian, mufassir yang dianggap meyimpang melalui aplikasi teori Ad-Dakhil tersebut dalam mengkaji tafsirnya, sesungguhnya telah melakukan usaha mulia (ijtihad) untuk menjelaskan serta mengungkap makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sehingga karya-karya tersebut pun patut juga mendapatkan apresiasi, yakni dalam bentuk kritik kontruktif sehingga kekayaan ilmiah tetap terjaga dan berkembang, tentu melalui dealektika yang sehat. Wallahualam.










DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Al-Gumārī, Bida’ At-Tafāsir (Kairo: Maktabah Al-Qāhirah, 2010).
Abdul Wahhab Fayad, Ad-Dakhīl fīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maba’ah Hasan, 1978).
Ahmad Muhammad Syakir, Umdah At-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir, jilid I (Mesir: Dār Al-Ma’ārif, 1956).
Ahmad Khalīl, Dirāsat fīAl-Qur’ān (Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972).
Amin Al-Khullī, Manāhij At-Tajdīd (Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961).
Al-Qurubī, Tafsīr Imām Al-Qurubī, juz I (Mesir: Asy-Sya’bī, 1961).
Ar-Rāgib Al-Asfahānī, Al-Mufradāt fī Garāib Al-Qur’ān (Mesir: Musṭafa Al-Bab Al-Jalis, 1381H/1961M).
Husain Az-Ẑahabi, Al-Isrā'iliyāt fī At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ (Kairo: Majma' Al-Buus Al-Islāmiyyah, 1971).
Husain Aż-Zahabi, At-Tafsīr wal-Mufassirūn, cet. ke-1 (Mesir: Maba’ah Al-Sa’ādah, 1976).
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.).
Khalāf Muhammad Al-Husainī, Al-Yahūdiyyahbain Al-Masihiyyah wa Al-Islām (Mesir: Al-Muassasah Al-'Ammah, 1964).
Muhammad Husain Aż-Ẓahabi, At-Tafsīr wa Al-Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005).
Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif, juzI (Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971). 
Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Tabīqiyyah fī Ad-Dakhīl(Kairo: Jamiah Al-Azhar, 1998).
Syaikh Al-Qurubī, Al-Jāmi’ li AhkāmAl-Qur’ān, juz II (Bairut: Dār Al-Fikr, 1998).
Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr, (Mesir: Markaz Ayat-Jami’ah Al-Azhar-Kuliyyah Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, 2003).
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003).


[1]Secara historis, perkembangan usaha-usaha untuk menginterpretasi Al-Qur’ān telah  ada sejak masa Nabi SAW. Hal ini ditandai dengan adanya  beberapa sahabat yang bertanya kepada Nabi SAW tentang beberapa lafa dan makna dalam ayat Al-Qur’ān yang tidak di mengerti, mengingat Nabi adalah sosok sentral yang menjadi rujukan umat.Dengan kata lain beliau adalah seorang Nabi sekaligus mufassir utama Al-Qur’ān. Lihat Muhammad Husain Aż-Ẓahabi, At-Tafsīr wa Al-Mufassirūn (Kairo: Dār Al-Ḥadīṡ, 2005), hlm. 46-47.
[2] Konstruksinya adalah bahwa Al-Qur’ān secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana seorang mufassir itu berada. Oleh sebab itu, ia pun menjadi selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Dalam sejarah perkembangannya, beberapa metode tafsīr diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’ān. Baca Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’ān, Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’ān (Jakarta: Penamadani, 2003), hlm.3.
[3]Ar-Rāgib Al-Asfahānī, Al-Mufradāt fī GarāibAl-Qur’ān (Mesir: Musṭafa Al-Bab Al-Jalis, 1381H/1961M), hlm. 166. Lihat juga Mu’jam Miqyās Al-Lugāh, juz II, hlm.3; Tahdzīb Al-Lugāh, juz VII, hlm. 271.
[4] Abdul Wahhab Fayad, Ad-Dakhīl fīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maba’ah Hasan, 1978), hlm. 13.
[5]Ibid, hlm. 13 – 14.
[6]Az-Zarkasyī, Al-Burhān fī‘UlūmAl-Qur’ān, juz II, hlm. 156.
[7]As-Suyuī, Al-Itqān fī‘UlūmAl-Qur’ān, hlm. 510.
[8]Syaikh Al-Qurubī, Al-Jāmi’ li AhkāmAl-Qur’ān, juz II (Bairut: Dār Al-Fikr, 1998), hlm. 43.
[9]Abdul Wahhab Fayad., Ad-Dakhīl fīTafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm, hlm. 13.
[10]Az-Zarkasyī, Al-Burhān fī‘UlūmAl-Qur’ān, juz II, hlm. 180.
[11]Khalāf Muhammad Al-Husainī, Al-Yahūdiyyahbain Al-Masihiyyah wa Al-Islām (Mesir: Al-Muassasah Al-'Ammah, 1964), hlm. 14.
[12] Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif, juzI(Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971),  hlm. 14. 
[13] Husain Az-Ẑahabi, Al-Isrā'iliyāt fīAt-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ(Kairo: Majma' Al-Buus Al-Islāmiyyah, 1971), hlm. 20.
[14] Al-Qurubī, Tafsīr Imām Al-Qurubī, juz I (Mesir: Asy-Sya’bī, 1961), hlm. 281.
[15] Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Tabīqiyyah fī Ad-Dakhīl(Kairo: Jamiah Al-Azhar, 1998), hlm. 15.
[16]Ahmad Muhammad Syakir, Umdah At-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir, jilid I (Mesir: Dār Al-Ma’ārif, 1956), hlm. 138.
[17]Husain Aż-Zahabi, Al-Isrā'iliyāt, hlm.20.
[18] Ahmad Khalīl, Dirāsat fīAl-Qur’ān (Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972), hlm.113.
[19]Husain Aż-Zahabi, At-TafsīrwaAl-Mufassirūn, cet. ke-1 (Mesir: Maba’ah Al-Sa’ādah, 1976), hlm.165.
[20] Amin Al-Khullī, Manāhij At-Tajdīd(Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961), hlm. 277.
[21]Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Tabīqiyyah fī Ad-Dakhīl, hlm. 16.
[22]Yusuf Hasan Abidu, TafsīrAl-Qur’ān; Sejarah Tafsīr dan Metode Para Mufassir, hlm. 61-62.
[23] Al-Hafi Ibnū Kaṡīr mengatakan bahwa sebagaian besar tafsīrbil ma’tsur telah masuk ke periwayat melalui orang-orang zindik dari kaum Yahudi, Persi dan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Sebagian ulama’ berkata, umumnya hal itu berkenaan dengan kisah-kisah para rasul beserta kerabat mereka, hal-hal berkenaan dengan kitab-kitab dan kemukjizatan mereka, sejarah selain mereka, seperti Ashabul Kahfi, Kota Irama Dzat Al-Imad, Sihir Babil, masalah-masalah ghaib, seperti tanda dan datangnya kiamat, apa yang terjadi saat itu dan sesudahnya. Sebagian besarnya adalah khurafat dan buatan yang dibenarkan oleh para periwayat termasuk sebagian sahabat. Karena itu Imam Ahmad berkata, ada tiga hal yang tidak memiliki dasar, yaitu tafsīr, malāhim dan magāzi. Kewajiban kita adalah mengumpulkan riwayat-riwayat yang disebutkan di dalam kitab-kitab mandiri, seperti sebagian kitab hadsit dan menjelaskan kualitasnya, kemudian disebutkan didalam tafsīr apa yang shahih saja tanpa sanad, seperti penuturan Ḥadīṡt dalam kitab-kitab fikih, namun tetap dinisbatkan kepada mukharrijnya. Lihat bagian Mukaddimah kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr, (Mesir: As-Sya’b, t.th.), danAz-Zarqānī, Manāhil Al-‘Irfān, juz I, hlm. 482. 
[24] Sekte dan golongan itu berkelompok-kelompok, bersikap fanatik, dan saling menjauh. Dari setiap kelompok itu muncul ulama’ yang berusaha membela madzhab dan ideologi mereka. Semua mengarahkan perhatian pada Al-Qur’ān. Masing-masing mengkaji ayat-ayat yang akan menguatkan pendapat dan mendukung madzhabnya. Yang tidak menemukan apa yang dicarinya didalam Al-Qur’ān akan menundukkan ayat-ayat Al-Qur’ān kepada madzhabnya dan membawa ayat-ayat itu kepada pendapat dan keinginan subjektifnya serta menta’wīlkannya sesuai dengan akidahnya. Dari sinilah bermula keluarnya tafsīr dari wilayah ra’yu yang terpuji menuju ra’yu yang tercela. Secara lebih rinci silahkan baca, Yusuf Hasan Abidu, TafsīrAl-Qur’ān; Sejarah Tafsīr dan Metode Para Mufassir, hlm. 132-134.
[25] Baca Abu Zahrah, Tarīkh Al-Jadal, hlm. 208.
[26] Pada masa ini, seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian bahwa banyak periwayatan Ḥadīṡ tidak melalui jalur “kode etik metodologi penelitian” ilmu-ilmu Ḥadīṡ, yakni tidak menuliskansanadnya secara lengkap. Akibatnya, banyak muncul periwayatan dalam penafsiran Al-Qur’ān  yang terkena infiltrasi Isra’iliyyat. Tokoh penting yang banyak meriwayatkan pada periode ini, diantaranya Ka’ab al-Ahbar dan Wahab ibn Munabbih. Baca Husain Aż-Zahabi, Al-Isra'iliyat fi At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡt, hlm. 92-93.
[27] Di antaranya adalahTafsīr Muqātil (w. 150 H), Tafsīr al-Farrā’ (w.207 H), Tafsīr al-Ṭabārī (w. 301 H), Tafsīr A-Ṡa’labī (w. 427), Tafsīr Ibn Kaṡīr (w. 747 H), dan lain-lain.
[28]Husain Aż-Zahabi, Al-Isrā'iliyāt fi At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡt, hlm. 92-93.
[29]Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fī At-Tafsīr, (Mesir: Markaz Ayat-Jami’ah Al-Azhar-Kuliyyah Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, 2003), hlm. 27.
[30] Lihat Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.), hlm. 33.
[31] Tsana’ Ali Mukhaimir As-Syaikh, Ad-Dakhīl fi At-Tafsīr, hlm. 26-27.
[32] Beliau adalah al-Imām al-'Allāmah Al-Muḥaddiṡ  al-Muaqqīq Abū Al-Fal Sayyid Abdullah bin As-Ṣiddīq Al-Gumārī. Abū Al-Fal sebenarnya adalah nama kunyah beliau yang terinspirasi dari tiga tokoh Ḥadīṡ besar yang juga memakai kunyah tersebut, pertama Al-Iraqī, Ibnu Hajar, dan terakhir As-Suyūṭī. Beliau adalah ulama’ besar hadist era kontemporer berasal dari Maroko. Biografi lengkapnya baca Abdullah Al-Gumārī, Sabīl At-Taufīq fī Tarjamati Abdullah bin A-iddīq Al-Gumārī, cet. ke-III (Kairo: Maktabah Al-Qāhirah, 2012).
[33] Baca Mohamad Sobirin, Bid’ah-Bid’ah Penafsiran Al-Qur’an menurut Abdullah Al-Ghumari, Tesis, (Yogyakarta: Paskasarjna UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm.104-132.
[34]Abdullah Al-Gumārī, Bida’ At-Tafāsir (Kairo: Maktabah Al-Qāhirah, 2010),hlm. 114. Matan dari Ḥadīṡ tersebut yaitu:
أن شداد بن عاد، كان ملكا قهر ملوك الدنيا، فدانوا له، وسمع بذكر الجنة، فقال أبني مثلها. فبنى إرم في بعض صحارى عدن وهي مدينة عظيمة قصورها من الذهب و الفضة، وأساطينها من الزبرجد والياقوت، وفيها أصناف الأشجار والانهار المطردة. بناها في ثلاثمائة سنة، ولما تم بنائها ذهب اليها باهل مملكته. فلما كان منها على مسيرة يوم وليلة بعث الله اليهم صيحة من السماء فهلكوا. وهي المراد. وان عبد الله بن قلابة خرج في طلب ابل له فوقع عليها فحمل ما قدر عليه مما ثم. وبلغ خبره معاوية فاتحضره فقص عليه فبعث الى كعب فساله فقال: هي ارم ذات العماد. وسيدخلها رجل من المسلمين في زمانك احمر اشقر قصير على حاجبه خال وعلر عنقه حال يحرج في طلب الابل له. ثم التفت فرأى ابن قلابة فقال هذا والله ذلك الرجل.
[35]Ibid.
[36]Ibid., hlm. 96.
[37]Ibid., hlm. 80.